Oleh Ian L. Betts

(Teks ini ditulis setelah penulis mengikuti Melbourne Writer Festival pada tahun 2006)

Selama beberapa jam waktu luang, Emha dan saya iseng mengunjungi salah satu toko CD di Melbourne. Di toko itu terdapat satu bagian di mana CD-CD didiskon. Saat saya menunjukkan Emha sebuah CD kompilasi dari lagu Cat Stevens, dia membelinya. Kiai Kanjeng sering memainkan karya Cat Steven berjudul ‘Wild World’ dan Emha antusias tentang Yusuf Islam secara umum, mungkin karena melihat Stevens memiliki semangat yang sama dengannya berkaitan dengan Islam dan musik.

Mungkin Anda tidak menyangka bahwa Emha menganggap Iggy Pop, veteran penyanyi punk Amerika, memiliki ‘semangat yang sama’ dengannya, namun jika Anda belajar sesuatu dari bekerja dengan Emha Ainun Nadjib, Anda akan menemukan bahwa ia akan selalu mengejutkan Anda. Saya telah menjadi penggemar fanatik dari Iggy Pop selama puluhan tahun. Toko CD di Melbourne itu memiliki beberapa DVD yang dijual dengan harga promosi. Salah satunya adalah DVD pertunjukan Iggy live yang direkam di Eropa pada Agustus 2005 berjudul “Iggy and The Stooges – Live at the Lokerse Festival”. The Stooges adalah band legendaris Iggy di tahun 1960-an. Mereka terkenal dengan reputasi hidupnya yang liar dan berlebihan. Iggy sering muncul setengah telanjang di atas panggung dan berlaku kasar. Konser-konsernya umumnya gila-gilaan. Apakah ini bisa cocok dengan karya dan pemikiran Emha Ainun Nadjib? Jika iya, bagaimana?

Saya tidak bisa menahan diri untuk menambahkan DVD ini masuk koleksi saya, meskipun saat itu saya tidak berharap bahwa Emha akan tertarik kepadanya. Kembali ke hotel, dengan sedikit waktu yang ada, saya menjelaskan kepada Emha latar belakang punk, akarnya dan perkembangannya. Tentang Iggy Pop dan kehidupannya, tentang Stooges dan musik mereka. Saya mengatakan bahwa menurut saya bukan hal mudah untuk mengakurkan suara musik Iggy Pop, nilai-nilai yang dianutnya dan kehidupan yang ia jalani dengan nilai-nilai Islam. Emha lalu meminta saya untuk memutar DVD itu pada DVD player di kamar hotel. Kami menyimak dan mendengarkan Iggy dan The Stooges formasi baru memainkan lagu-lagu lama mereka. Ada Loose, Down on the Street, 1969, Dirt, Real Cool Time, 1970, No Fun dan banyak lagi.

Emha menyukainya. Tidak hanya dia menyukainya; dalam sekejap ia mengapresiasi sound dan energi dari musik dan penampilan mereka. Sebelum itu saya pernah bercerita kepadanya tentang album berpengaruh The Stooges di tahun 1973, Raw Power, dan kami membahas bagaimana album itu bisa diterjemahkan, ditafsirkan dan diterapkan ke konteks Indonesia dan Islam. Raw Power menjadi frase umum Emha dalam bulan-bulan sesudah itu. Emha secara khusus sangat menyukai lagu yang menjadi penutup konser Live at the Lokerse Festival dan juga sering digunakan untuk menutup konser-konser Iggy, “I Wanna Be Your Dog”. Dari titik tersebut, gagasan hewani, keliaran dan raw power (kekuatan mentah) menjadi tema yang terus-menerus, provokatif dan kuat dalam musik The Stooges. Kami lalu balik ke toko CD dan membeli DVD lain Iggy Pop, kali ini untuk Emha, berjudul “Jesus, This Is Iggy” produksi Perancis, yang berisi kumpulan wawancara, pentas live, materi biografi, dan narasi oleh Grand Old Man of Punk itu sendiri, Iggy Pop .

Setelah kembali ke Indonesia, Emha segera mengumpulkan Kiai Kanjeng dan mengatakan kepada mereka tentang sound dan energi baru yang menarik dan baru ia temukan. Mereka lalu bersama-sama menonton DVD “Jesus, This Is Iggy”. Selanjutnya, Raw Power dalam dosis melimpah disuntikkan ke latihan-latihan dan pertunjukan-pertunjukan Kiai Kanjeng. Saya berangkat ke Yogyakarta untuk presentasi yang telah saya siapkan dalam bahasa Indonesia mengenai Iggy dan Stooges. Presentasi itu memperkenalkan kepada Kiai Kanjeng kehidupan dan karir Iggy: Era The Stooges, kerja bareng David Bowie, meninjau jatuh bangun dari karir Iggy yang panjang, mendengarkan nukilan-nukilan kisah hidupnya lalu melakukan diskusi panjang tentang itu semua. Tak lama kemudian, setelah saya kembali Jakarta, saya mulai menerima laporan berita tentang pertunjukan-pertunjukan Kiai Kanjeng bergaya punk liar. Sukar dipercaya. Hingga suatu malam, di Padhang mBulan, saya berada di sana dan menyaksikan sendiri Kiai Kanjeng ngerock ala Iggy dan Islamiyanto, sang vokalis, tidak perlu diminta sampai dua kali oleh Emha, untuk berdiri dan melakukan aksi bergaya Iggy-nya.

Sejak saat itu, esensi dari Raw Power menjadi komponen penting dari dialog-dialog dalam pertemuan Maiyah di seluruh Indonesia. Pada tanggal 17 September, setelah acara Mocopat Syafaat di Yogyakarta, dua minggu setelah Emha kembali ke Indonesia dari Melbourne, ada tulisan di website padhangmbulan.com berjudul “It’s Fuckin’ Punk” di mana Emha dikutip berpesan kepada para hadirin yang berkumpul untuk “lepaskan hewan dalam diri Anda – biarkan keliaran keluar!” Kiai Kanjeng juga menyajikan sebuah lagu bergaya punk dengan lirik menyerang korupsi.

Emha menjelaskan bahwa semangat dan energi kerja Iggy tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai Islam; Raw Power, yang tampaknya liar dan tak dapat dijinakkan bukanlah sesuatu untuk dihindari; bahkan ia bisa dan harus memberikan energi atas apa yang kita kerjakan. Selama beberapa bulan kemudian, Emha terus mengacu pada konsep keliaran dan nilai-nilai intrinsiknya di banyak pertemuan dan acara. Unsur penting lain telah ditambahkan ke fusi campuran Kiai Kanjeng.

Emha saat ini sedang mendengarkan Lou Reed dan The Velvet Underground. Ke mana gerangan, saya bertanya-tanya, itu akan membawa kita …?

Catatan penerjemah:

Artikel ini saya ambil dari blog Silent Pilgrimage milik Ian l. Betts. Ian adalah penulis buku Jalan Sunyi Emha yang mengangkat perjalanan hidup Emha Ainun Nadjib. Mohon maaf apabila ada penerjemahan yang kurang sip. Ini latihan saya kembali setelah bertahun-tahun tidak lagi menggeluti bidang ini. hehe

cn000.png