November 2019


tbk

 

Namanya Ibnu R, atau panggil saja ‘Ibnu’. Saya sering usil memanggilnya ‘Pak Ibnu’ begitu tahu dia bekerja dan sempat mengajar sebagai dosen di Universitas Brawijaya Malang. Saya pertama kali kenal pria yang tenang dan santun ini adalah dalam lingkungan scene musik lokal. Kami tumbuh di kampus dan tongkrongan yang sama juga. Ibnu memang menggilai musik dalam berbagai genre mulai dari pop, folk, rock, punk, hardcore hingga metal. Selera musiknya cukup apik dan mengakrabkan. Saya pernah menemui Ibnu di ruang kerjanya di kampus hanya untuk berbagi koleksi mp3 dan mengobrol banyak soal musik.

Setahu saya, salah satu band favorit Ibnu itu mungkin adalah Koil. Sebab dia cukup fasih bercerita tentang band industrial-rock asal Bandung itu. Ketika saya mengelola webzine Apokalip.com [2007-2010], setiap review dan ulasan tentang Koil selalu saya serahkan pada Ibnu untuk menulisnya. Itu mutlak jatahnya. Lagipula dia juga dikenal sebagai pelanggan tetap di Omuniuum [Bandung], jadi banyak tahu informasi tentang band tersebut. Klop!

Beberapa waktu kemudian, saya baru tahu sisi lain Ibnu yang juga sangat menarik. Ternyata pria humble ini juga seorang penggila buku dan pelahap segala jenis bacaan. Puncaknya adalah ketika Ibnu membuka lapak buku online di Facebook, namanya Toko Buku Kafka. Setelah berburu dan mengkoleksi banyak buku, Ibnu lalu menjualnya kembali? Oh, rasanya tidak sesederhana itu. Sebab kalau saya amati di laman Toko Buku Kafka itu kadang bak ‘forum diskusi’ para penggemar dan kolektor buku juga. Sebuah meeting point bagi para kutu buku dengan beragam status, profesi, selera dan domisili [baca; IP Address].

Satu pernyataan yang paling saya suka dari Ibnu mengenai Toko Buku Kafka adalah dia hanya memberi alternatif kepada para pencinta buku, sambil terus berbagi informasi, dan membantu buku-buku itu agar bisa segera menemukan tuannya!…

Anda masih sibuk bekerja di kampus? Tetap mengajar juga?

Yup, masih jadi pegawai kampus pagi hingga sore. Mengajarnya enggak lagi, beberapa waktu terakhir ini ada tugas lain sehingga gak memungkinkan saya berdiri di depan kelas lagi.

Trus, apa kabar Toko Buku Kafka?

Toko Buku Kafka baik-baik saja, masih terus berjalan meski pelan-pelan. sesekali juga mengunggah buku-buku koleksi terbaru. boleh cek di Facebook-nya ; http://www.facebook.com/tokobuku.kafka

Bagaimana ceritanya kok anda tiba-tiba tertarik mendirikan toko buku?

Awalnya enggak sengaja. Saya memang suka baca dan ngumpulin jenis buku-buku yang saya sukai. Suatu ketika di awal tahun 2011 saya mendapati bahwa ada beberapa judul buku di rak saya yang dobel; karya Tan Malaka, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Buku-buku itu relatif sudah cukup susah didapat. Tiba-tiba terlintas di pikiran saya untuk melepas saja koleksi yang dobel itu, siapa tahu ada yang memerlukan. Akhirnya saya buka akun Toko Buku Kafka di Facebook. Ternyata responnya baik, gak nyangka juga. Internet memang memberi banyak kemudahan, juga untuk menemukan buku yang kita cari. Awal tahun depan kami jalan dua tahun.

Apakah itu berarti Toko Buku Kafka juga dimaksudkan untuk ‘melawan’ dominasi toko buku mainstream seperti Gramedia, Gunung Agung atau Togamas misalnya?

Enggak pernah berpikir sejauh itu. Kalau pakai analogi perlawanan, kami kalah segala-galanya. Yang kami bisa lakukan adalah memberi alternatif kepada pencinta buku, “Ini lho ada buku-buku bagus yang gak ada di pasaran”. Dengan berbagi informasi, kami sudah cukup senang. Kalau kemudian buku itu menemukan tuannya, senangnya nambah. Hehe.

Dari mana saja anda biasanya mendapat stok koleksi dan dagangan untuk Toko Buku Kafka?

Dari lapak buku bekas di beberapa kota, offline maupun online, bursa buku, kadang juga dari loakan pas saya lagi jalan.

Di mana saja spot yang anda rekomendasikan untuk berburu buku bekas?

Kalo online; di rekan-rekan penjual buku bekas di FB lumayan-lumayan koleksinya, Stalinebooks, Mijil Bookstore, Terasilam, dan lain-lain. Kalo offline; hampir tiap kota besar punya spot yang perlu dikunjungi, seperti kalau di Jakarta bisa ke lapak buku bekas di sekitar stasiun UI, Stasiun Pocin, Pasar Senen, Taman Puring, dan lain-lain. Di Surabaya ada lapak buku Kampung Ilmu di Jalan Semarang dan Pasar Blauran. Di Malang ada pasar buku Wilis dan Velodrome.

Selama ini, buku-buku macam apa yang paling banyak dicari konsumen di Toko Buku Kafka?

Terutama sejarah dan sastra. Dari tema sejarah, buku-buku terkait sejarah kerajaan Mataram dan Aceh banyak sekali dicari. Juga sejarah berbagai pemberontakan misalnya pemberontakan PKI, pemberontakan petani Asia Tenggara, dan pemberontakan pajak di Sumatera. Dari sastra, yang paling banyak dicari masih karya-karya Pramoedya Ananta Toer, George Orwell, dan Albert Camus. Akhir-akhir ini buku-buku Emha Ainun Nadjib juga mengalami kenaikan permintaan yang luar biasa.

Sekarang kayaknya lagi trend buku topik motivasi diri [self-help] dan traveling. Apakah banyak yang cari juga di Toko Buku Kafka?

Khusus buku motivasi kayaknya enggak ada yang cari di Kafka. Entah kenapa, hehe. Saya pribadi juga belum tertarik untuk memajang buku-buku seperti itu. Sedang soal traveling kadang ada juga yang nyari meski gak banyak. Kalau pas saya ada buku yang sesuai dengan minat pembeli saya biasanya memberi mereka rekomendasi judul-judul yang kami miliki.

Apakah anda juga membaca buku-buku tentang motivasi atau pengembangan diri?

Buku semacam itu tak pernah menarik minat saya, buang-buang waktu saja. Saya percaya buku bagus dari tema apa saja akan memberikan motivasi buat pembacanya. Tak harus buku berlabel motivasi atau pengembangan diri.

Menurut anda, apa saja buku atau novel lokal yang kudu segera dibuat film adaptasinya?

Cerita-cerita pendek Seno Gumira Ajidarma sangat menantang untuk dikembangkan menjadi film, format pendek maupun layar lebar. Sineas muda kita sebaiknya menoleh ke sastra Indonesia yang kaya.

Apa buku yang terakhir kali anda beli baru-baru ini?

Kemarin saya beli “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat” karya penulis Belanda, Martin van Bruinessen. Buku ini konon tergolong klasik dalam hal kajian pesantren dan tarekat di Indonesia. Sebenarnya saya punya edisi lamanya terbitan Mizan tahun 90-an, tetapi di edisi baru ini ada dua bab tambahan yang sepertinya menarik sehingga saya ambil juga.

Apa buku yang terakhir kali anda baca secara tuntas?

Terakhir saya merampungkan buku tipis “Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966”

Apa buku yang terakhir kali anda beli, dibaca gak tuntas, dan menyesal karena membelinya?

Buku yang mandeg dibaca ada beberapa, tapi sepertinya saya belum pernah mengalami menyesal membeli sebuah buku. Kalau mandeg baca itu karena ada buku lain yang meminta perhatian saya untuk membacanya.

Apa judul buku yang paling sering anda baca berulang-ulang…

“The Curious Incident of the Dog of the Night-Time” karya Mark Haddon. Bukan bacaan yang berat, justru ringan dan bisa dinikmati semua umur. Saya merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang senang mendapatkan pengalaman membaca yang asyik. Kita jadi tahu bagaimana bocah cerdas 15 tahun penderita Sindrom Asperger memandang dunia dan melakukan petualangan penyelidikan ala Sherlock Holmes. Menarik, unik, mengharukan, dan memberi kesan yang mendalam.

Siapa saja penulis buku favorit anda?

Tak ada yang spesifik, tergantung kebutuhan saja. tidak semua penulis bagus menghasilkan karya yang selalu bagus, pemenang nobel sekalipun. Saya memandang buku sama dengan musik, sama-sama asupan bagi jiwa. Buku yang bagus di saat yang tepat akan nikmat sekali rasanya.

Boleh tahu apa lima buku favorit anda sepanjang masa?

Animal Farm – George Orwell, Days of War Night of Love – CrimethInc, Aku Ingin Jadi Peluru – Wiji Thukul, Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib, dan Mantra Pejinak Ular – Kuntowijoyo.

Oke, saya jadi penasaran;  apakah anda juga suka muter musik ketika sedang membaca buku?

Iya, itu kebiasaan dari kecil. Setiap membaca pasti ada aja yang saya dengerin, radio maupun kaset. Temen membaca yang saya sukai adalah lagu-lagunya Gombloh, Melancholic Bitch, Cat Power, Iron and Wine, Sun Kill Moon, dan lain-lain.

Terakhir, saya jadi ingin tahu apa saja album musik yang sering anda putar belakangan ini?

Saya sedang senang sekali mendengarkan Agalloch. Semua albumnya saya putar sambung-menyambung, belum bosan juga. Juga berusaha menyelami Godspeed You! Black Emperor yang baru, “Allelujah! Don’t Bend! Ascend!”. Kalau rilisan lokal yang saya sedang dengarkan itu Leo Kristi album Nyanyian Malam. Dapat kaset ini juga kebetulan. Waktu hunting buku saya malah gak dapat buku yang menarik, eh ada kaset yang membetot perhatian saya punya mas penjual buku, ya album Leo Kristi itu. Saya tanya apa kaset itu boleh saya beli? Penjualnya mengangguk. Walhasil kaset itu jadi nangkring di rak musik saya sekarang.

 

*Baca lebih jauh Ibnu melalui akun Facebook dan Twitter @hujanreda, atau intip blog-nya. Dia kawan yang menyenangkan untuk sekedar berbincang mengenai musik dan buku.

Nb. wawancara di atas dimuat seorang kawan di blognya pada 2012. sesikopipait

vol5

 

“Kaset kompilasi Slow Rock V, kelas 3 SMP tahun 1993. Belinya di toko kaset Kawan di kota Malang. Toko ini dulu ada tiga, tapi sekarang tinggal satu. Kalau nggak salah harganya Rp 6.000 untuk kaset Barat, kalau Indonesia Rp 4.000. Rumahku di kabupaten Malang, untuk ke kota Malang perlu naik kendaraan sejauh 10 km, bisa ditempuh naik angkudes, oper angkot, atau 30 menit jika kendaraan bermotor sendiri. Ibuku pedagang, seminggu tiga kali diantar Bapak ke kota Malang untuk kulakan, aku ikut mereka. Di Pasar Besar ibu kulakan, sementara aku jalan kaki ke toko kaset Kawan. Sebagai anak SMP dengan uang jajan pas-pasan, aku nabung dulu untuk beli kaset pertama itu. Dalam pikiran polosku waktu itu, beli satu album dari satu band kok sayang, gimana kalau ternyata lagu bagusnya sedikit. Karena itu kuputuskan beli album kompilasi saja biar dapat banyak lagu hits. Aku makin mantap beli album Slow Rock V karena di situ ada lagu “Love Is On The Way” Saigon Kick dan “Under The Bridge” RHCP yang sudah pernah aku dengar dari kaset milik kakak sepupu. Dari situ pula aku kenal Skid Row dan Dream Theater. Di toko kaset sempat mikir lama banget, bimbang antara beli album itu atau album perdana Slank Suit… Suit… He… He… (Gadis Sexy). Aku pernah minjem album Slank itu dari kakak sepupu. Semua lagunya asyik, liriknya berani, malah cenderung vulgar, setidaknya menurut ukuranku waktu itu. Tiap di rumah lagi ada ortu dan adikku, kaset Slank pinjeman itu selalu aku kecilin volume suaranya, atau bawa tape player-nya masuk ke kamar. Bukan apa-apa, bapakku guru agama dan mengajar di madrasah, aku nggak sampai hati jika beliau harus ikut mendengar lagu Slank yang seperti itu. Karena perasaan sungkan itu, aku nggak jadi beli kaset Slank dan memilih kompilasi Slow Rock V yang cenderung lebih aman itu. Tapi manusia berubah, kelak aku rutin beli kaset Slank sejak album Generasi Biru pas aku kelas 1 SMA.”

IR, 35 tahun, Malang
[pemilik Toko Buku Kafka]

Nb:

Pada 2013, seorang sahabat tiba-tiba menodong saya untuk wawancara. Temanya album musik yang pertama kali saya beli. Wah saya langsung sanggupi dengan antusias. Proyek wawancara itu menghimpun sekian banyak orang dari berbagai latar belakang dengan satu pertanyaan yang sama: album apa yang mereka pertama kali beli. Sangat menarik. Jawaban saya ia urai dalam bentuk prosa seperti di atas.

Versi lengkapnya ada di sini: album pertama dibeli